Judul buku: Sosiologi Feminisme “konstruksi perempuan dalam industri media”
Penulis : Widjajanti M Santoso
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2011
Tebal : xxi+332 Halaman
Harga: Rp70.000
Feminitas yang muncul dari beragam visualisasi perempuan, terutama ketika perempuan bertindak sebagai pelaku kekerasan. Visualisasi ini tentu saja terkait erat dengan kecenderungan ekstasi kekerasan yang tengah membudaya di Indonesia saat ini, terutama budaya media. Betapa tidak, banyaknya tayangan sinetron di Indonesia memvisualisasikan kekerasan melalui sosok individu yang memiliki kekuasaan mutlak karena tidak adanya individu lain yang bertindak sebagai kekuatan penyeimbang. Dalam hubungan ini, ratu rumah tangga merupakan sebutan yang jauh dari pujian. Pasalnya, ia merepresentasikan kekuasaan yang tidak tertandingi sehingga tawarannya tidak bisa ditolak oleh siapa pun.
Visualisasi perempuan sebagai pelaku kekerasan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari perempuan korban kekerasan. Hal ini, merupakan sebuah representasi yang patut diwaspadai oleh feminisme. Dalam temuan lain, sinetron merupakan sebuah bentuk male gaze karena kecenderungannya untuk tidak memberikan ruang alternatif pada narasi ceritanya. Selain itu, male gaze juga tampak kecenderungan penggambarannya yang biner menyangkut penilaian baik dan buruk.
Hal ini berbeda dengan opera sabun di barat yang umumnya memvisualisasikan romantisme. Imbasnya, sinetron Indonesia tampak dipenuhi oleh berbagai macam adegan kekerasan. Kecenderungan ini jika ditinjau dari perspektif feminisme yang menggarapnya sebagai knowledge (pengetahuan) yang berkembang di masyarakat, menunjukkan adanya sesuatu yang meledak-ledak ketika kekerasan tampak dirayakan.
Singkatnya, kekerasan menjadi ekspresi yang digemari oleh masyarakat atau menjadi ikon yang beredar di masyarakat. Dari sisi perempuan, ikon tersebut merepresentasikan unsur-unsur misoginis. Artinya, perempuan yang divisualisasikan itu perempuan yang terstigmatisasi. Misalnya perempuan janda, perempuan yang tidak menikah, perempuan yang hidup bukan dengan anggota keluarganya, perempuan yang berselingkuh, dan sebagainya.
Stigma-stigma tersebut memperlihatkan bahwa perempuan cenderung bermasalah ketika dia merambah institusi pernikahan atau keluarga. Pada tahap selanjutnya, visualisasi tersebut tampak semakin runcing yang nyaris hanya menyisakan posisi biner belaka. Padahal yang sejatinya dibutuhkan visualisasi perempuan yang beraneka ragam. sehingga apa yang direpresentasikan kemudian hanya berupa kriminalisasi tindakan perempuan.
Perempuan sebagai sebuah standpoint membutuhkan kajian yang mendalam terkait dengan media dan produk budaya. Semakin berkembang sebuah masyarakat maka beragam pula aktivitas media dan produk budaya di dalamnya. Ketika representasi perempuan semakin terekspos maka manfaat yang dihasilkannya akan dianggap semakin besar, karena budaya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah cultural economy.
Secara sekilas tidak ada kecenderungan pada media dan produk budaya untuk menghasilkan sesuatu yang merugikan dan berefek buruk. Ketika sebuah film diiklankan, misalnya, hal ini akan membuat senang banyak orang, karena telah memperoleh informasi bahwa film tersebut menarik. Ilustrasi semacam ini menunjukan bahwa media dan produk budaya hadir justru untuk memberikan kepuasan tertentu.
Terkait persoalan di atas, pemikiran feminis datang untuk memberikan argumentasi yang justru akan mempermasalahkan gambaran yang tampaknya tidak berbahaya menjadi sesuatu yang menarik. Tidak semata-mata bertujuan untuk menggali dan mempermasalahkan media dan produk budaya di dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, lebih jauh juga untuk menunjukkan mengapa media dan produk budaya tersebut cenderung dihasilkan melalui mekanisme tertentu.
Dengan cara ini pula, feminis dapat menguraikan tantangan-tantangan apa saja yang akan dihadapi jika hendak melakukan advokasi di tingkat strukur yang lebih besar. Selain itu, argumentasi-argumentasi apa saja yang dapat diajukan untuk memperlihatkan bahwa sesuatu yang tampaknya tidak berbahaya pada kenyataannya sangat merugikan perempuan.
Berbeda dengan opera sabun di barat yang lebih mengedepankan masalah keseharian dan romantisme sebagai isi ceritnya, sinetron Indonesia justru tampak dipenuhi oleh adegan-adegan kekerasan. Umumnya, pelaku kekerasan yang divisualisasikan mencakup pelaku laki-laki dan perempuan. Namun, visualisasi perempuan pelaku kekerasan telah menjadi cerita yang dominan. Ketika perempuan divisualisasikan sebagai korban kekerasan, hal itu bisa mencakup representasi di luar batas nalar publik, mulai dari kata-kata yang tidak menyenangkan hingga tindakan yang mengarah pada kriminalitas.
Representasi tersebut semakin penting ketika penjelasan sosial perihal kondisi sosio-ekonomi Indonesia turut dimasukan. Misalnya, ketika kekerasan dan beragam konflik lainnya tampak mendominasi isi pemberitaan di media masa, mengapa dunia hiburan pada saat yang sama juga didominasi sinetron dengan kecenderungan yang sama. Jika kekerasan telah tervisualisasikan secara merata, maka kekerasan akan menjadi sebuah ikon. Inilah mengapa setiap konsumen media di Indonesia perlu untuk berpikir tentang siapa dan apa dirinya.
Buku Sosiologi Feminisme “konstruksi perempuan dalam industri media” ini menggambarkan bagaimana relation of ruling bekerja di dunia sinetron dan industri televisi. Bentuk kekuasaan ini tidak mungkin dirasakan sebagai sebuah kekuasaan yang memaksa dan menindas, karena ia hadir di masyarakat sebagai sesuatu yang membuat hidup terasa menyenangkan. Dengan kata lain, pemirsa tidak menyadari bahwa dirinya dibentuk oleh kekuasaan semacam itu. Jika logika bisnis dapat menunjukkan seperangkat alasan yang mendasari tindakannya, pemirsa justru tidak memiliki dasar untuk sekadar menunjukkan ketidaksukaannya. Sebaliknya, pemirsa akan terpaksa menerima logika bisnis tersebut (bisnis media). Inilah mengapa kosnsep civil society perlu dipertimbangkan sebagai masukan bagi kajian cultural economy yang menjadi dasar utama produsi budaya.
Buku ini menghadirkan suatu analisis yang mendalam tentang media televisi, melalui produksi sinetron, sebagai unsur yang cukup berperan di dalam konstruksi nilai-nilai feminitas yang dominan. Apa yang dikemukaan oleh penulis dalam buku ini, tentu saja sesuai dengan kecenderungan yang diperlihatkan oleh kalangan ilmuan sosial, yaitu bahwa nilai dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan atau secara lebih khusus dengan dunia simbolik dalam kebudayaan.
SUMBER : OKEZONE.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar